BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Sejak
merdeka tahun 1945, Indonesia sudah beberapa kali mengalami pergantian sistem
pemerintahan. Tahun 1945 sampai 1965 dikenal dengan nama sistem pemerintahan
orde lama, yang mana merupakan era presiden Soekarno. Setelah presiden Soekarno
tumbang, tampung kekuasaan diserahkan kepada jenderal Soeharto yang akhirnya
melahirkan sistem pemerintahan orde baru. Orde baru berlangsung dari tahun 1966
sampai tahun 1998. Dikarenakan sudah terlalu lama menjabat dan merajalelanya
KKN, presiden Soeharto digulingkan oleh rakyat Indonesia yang akhirnya
melahirkan zaman baru bagi Indonesia, reformasi. Reformasi berlangsung dari
tahun 1998 sampai sekarang.
Tidak
ada yang menyangkal bahwa setiap periode pemerintahan memiliki ciri khasnya
masing masing. Orde baru dikenal dengan keotoriteran rezim presiden Soeharto
sedangakan masa reformasi dianggap sebagai masa berjayanya demokrasi. Kedua
masa tersebut, orde baru dan reformasi merupakan dua masa pemerintahan yang
cukup berbeda. Masa orde baru merupakan masa dimana segala sesuatunya harus
sesuai dengan kehendak pengusa, bukan kehendak rakyat. Rakyat dipaksa untuk
bungkam dan mengikuti aturan yang telah ditetapkan pemerintah tanpa dapat
melakukan kritik untuk kebijakan yang lebih baik. Pada masa orde baru Indonesia
memang mengalami pertumbuhan ekonomi yang mengesankan, namun tidak merata.
Hutang Indonesia tak terhitung banyaknya. Ditambah maraknya korupsi di tubuh
pemerintahan. Siapapun yang menentang pemerintah, nyawanya akan terancam. Sanksi
kriminal dilaksanakan dengan menggelar Mahkamah Militer Luar Biasa untuk
mengadili pihak yang dikonstruksikan Soeharto sebagai pemberontak. Pengadilan
digelar dan sebagian dari mereka yang terlibat “dibuang” ke Pulau Buru. Tidak
ada yang mampu meruntuhkan kebobrokan sistem tersebut sampai akhirnya rakyat
benar – benar telah kehilangan kesabaran pada tahun 1998.
Sedangkan
masa reformasi sering digaung – gaungkan sebagai masa demokrasi. Yang artinya
kebebasan hampir disegala aspek kehidupan, termasuk dalam hal kepolitikan. Pada
masa orde baru, pemenang pemilu sudah bisa dipastikan, namun pada masa
reformasi benar benar merupakan persaingan terbuka. Dalam hal pengambilan
kebijakan, rakyat dapat menyalurkan aspirasinya secara bebas melalui wakil
wakil rakyat maupun media. Walaupun pada kenyataannya saat ini aspirasi rakyat
cenderung tidak didengar, setidaknya tidak ada yang membungkam rakyat seperti
pada masa orde baru.
Berdasarkan
uraian diatas, sudah dapat dipastikan nasib jurnalisme Indonesia pada masa orde
baru dan reformasi itu berbeda. Nasib pers sangat bergantung dari kebijakan
kebijakan yang dikeluarkan pemerintah.
B.
Rumusan Masalah
Bagaimana
perbandingan kebebasan pers pada masa orde baru dan masa reformasi?
C. Teori
Teori
sistem politik menurut pendapat Robert A.Dahl dalam bukunya yang berjudul
Modern Political Analysis : “ sistem politik adalah sebagai pola yang tetap
dari hubungan – hubungan antar manusia yang melibatkan -sampai dengan tingkat
yang berarti- kontrol, pengaruh, kekuasaan, ataupun wewenang”
demokrasi
menurut Henry B.Mayo : “Kebijaksanaan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh
wakil-wakil yang diawasi secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan
yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana
di mana terjadi kebebasan politik.”
D. Hipotesis
Pada
masa orde baru kebebasan pers sangat dibatasi sedangkan pada masa reformasi
pers memiliki ruang gerak yang cukup luas.
BAB
II
PEMBAHASAN
1.
Pers masa orde baru
Tidak
bisa dipungkiri bahwa pers memiliki peran yang sangat penting di suatu negara.
Tanpa pers, tidak ada informasi yang bisa tersalurkan baik dari rakyat ke
pemerintahnya maupun sebaliknya. Singkat kata, pers memiliki posisi tawar yang
tidak bisa diremehkan. Konsepsi Riswandha (1998 : 101) mengatakan bahwa ada
empat pilar pemelihara persatuan bangsa, salah satunya adalah kaum intelektual
atau pers. Pers berfungsi sebagai pemikir dan penguji konsep-konsep yang
diterapkan pada setiap kebijakan.
Pada
masa orde baru, pers bisa dikatakan tidak ada fungsinya untuk warga negara.
Pers sangat terlihat hanya sebagai boneka penguasa. Tidak ada kebebasan
berpendapat yang dijanjikan pemerintah pada awal awal kekuasaan orde baru.
Keberadaan pers diawasi secara ketat oleh pemerintah di bawah naungan departemen
penerangan. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi hal – hal buruk di dalam
pemerintahan orde baru sampai di telinga masyarakat. Pers tidak bisa melakukan
apapun selain patuh pada aturan yang ditetapkan oleh pemerintah. Aspirasi
masyarakat untuk pemerintah tidak tersalurkan sama sekali. Hal ini dikarenakan
komunikasi politik yang terjadi hanya top – down. Artinya pers hanya sebagai
komunikator dari pemerintah ke rakyat. Pers tidak dapat melakukan fungsinya
sebagai komunikator dari rakyat ke pemerintah. Selain itu, pemberitaan yang
disalurkan ke masyarakat mengenai pemerintah harus merupakan berita – berita
yang menjunjung tinggi keberhasilan pemerintah. Yang diberitakan hanyalah
sesuatu yang baik. Apabila suatu media nekat menerbitkan pemberitaan – pemberitaan
miring soal pemerintah, bisa di pastikan nasib media tersebut berada di ujung
tanduk.
Berdasarkan
teori politik yang dipaparkan diatas, jelas bahwa pers pada masa orde baru
sangat dikendalikan oleh pemerintah. Kontrol pemerintah terhadap pers tidak dapat
diragukan lagi, begitu juga dengan pegaruhnya. Kebijakan – kebijakan yang
dikeluarkan pemerintah orde baru sangat tidak mendukung keberadaan pers. Salah
satu contohnya adalah kebijakan SIUPP, yakni Surat Izin untuk Penerbitan Pers,
yang mana sangat tidak pro-pers. Pers mengalami kesulitan saat dituntut untuk
melasanakan fungsi – fungsi yang secara alamiah melekat padanya, khususnya
fungsi mereka bagi masyarakat. Fungsi pers bagi masyarakat adalah menampilkan
informasi yang berdimensi politik lebih banyak dibandingkan dengan ekonomi,
dengan didominasi subyek negara serta kecenderungan pers untuk lebih berat ke
sisi negara harus dilakukan dengan cara lebih memilih realitas psikologis
dibanding dengan realitas sosiologis. Tidak hanya itu, 9 elemen dasar Bill
Kovach mengenai jurnalisme yang seharusnya diamalkan oleh pers tidak
terlaksana. 9 elemen dasar tersebut adalah :
- Kewajiban utama jurnalisme adalah pada pencarian kebenaran
- Loyalitas utama jurnalisme adalah pada warga negara
- Esensi utama jurnalisme adalah disiplin verifikasi
- Jurnalis harus menjaga indepedensi dari objek liputannya
- Jurnalis harus membuat dirinya sebagai pemantau independen dari kekuasaan
- Jurnalis harus memberi forum bagi publik untuk saling kritik dan menemukan kompromi
- Jurnalis harus berusaha membuat hal penting menjadi menarik dan relevan
- Jurnalis harus membuat berita yang komprehensif dan proporsional
- Jurnalis harus diperbolehkan mendengarkan hati nurani personelnya
Jika
sudah begitu, bisa dikatakan pers telah kehilangan jati dirinya. Contoh
kediktatoran pemerintah terhadap pers adalah peristiwa 21 Juni 1994. Saat itu
beberapa media massa seperti Tempo, deTIK, dan editor dicabut surat izin
penerbitannya atau dengan kata lain dibredel setelah mereka mengeluarkan
laporan investigasi tentang berbagai penyelewengan yang dilakukan oleh
pejabat-pejabat Negara. Akan tetapi, meskipun pemerintah telah membungkam media
sedemikian rupa, tetapi saja ada media yang pantang menyerah melakukan
perlawanan pada pemerintah. Salah satunya adalah Tempo. Pemerintah orde baru
selalu merasa terancam dengan keberadaan Tempo. Hal tersebut wajar karena sikap
pantang menyerah yang ditanamkan media tersebut kepada wartawan – wartawannya.
Tidak dapat dipungkiri bahwa Tempo menjadi media terpenting pada masa orde baru.
Sesungguhnya
pada masa orde baru terdapat lembaga yang menaungi pers di Indonesia, yaitu
Dewan Pers. Sesuai UU Pers Nomor 40 tahun 1999, dewan pers adalah lembaga
independen yang dibentuk sebagai bagian dari upaya untuk mengembangkan
kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional. Berdasarkan amanat
UU, dewan pers meiliki 7 fungsi :
- Melindungi kemerdekaan pers dari campur tangan pihak lain, bisa pemerintah dan juga masyarakat
- Melakukan pengkajian untuk pengembangan keidupan pers
- Menetapkan dan mengawasi pelaksanaan kode etik jurnalistik
- Memberikan pertimbangan dan pengupayaan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers
- Mengembangkan komunikasi antara pers, masyarakat, dan pemerintah.
- Memfasilitasi organisasi pers dalam menyusun peraturan di bidang pers dan meningkatkan kualitas profesi wartawan
- Mendata persahaan pers
Namun
sangat disayangkan bahwa dewan pers masa orde baru tidak melaksanakan fungsinya
dengan efektif. Ironisnya, dewan pers justru tidak melindungi rekan sesama
jurnalis. Hal tersebut terlihat saat peristiwa pembredelan media tahun 1994.
Banyak anggota dewan pers yang tidak meyetujui pemberedelan tersebut, namun
dewan pers dipaksa menyetujui langkah pemerintah tersebut. Tidak ada yang bisa dilakukan
dewan pers selain mematuhi instruksi pemerintah. Menolak sama artinya dengan
melawan pemerintah. Bisa disimpulkan keberadaan dewan pers masa orde baru hanya
sebatas formalitas.
2.
Pers masa reformasi
Bagaimana
dengan kebebasan pers pada masa reformasi? Tidak bisa dipungkiri bahwa pers
pada masa orde baru sangat berbeda dengan pers pada masa reformasi. Tidak ada
kebebasan pers pada masa orde baru. Namun, saat orde baru tumbang, pers seperti
kehilangan kendali. Arus kebebasan dibuka lebar – lebar secara spontan.
Gelombang kebebasan pers tercipta secara besar besaran, bukan perlahan dengan
proses yang seharusnya.
Suatu
kebijakan yang monumental karena dianggap sebagai tonggak dimulainya kebebesan
pers di Indonesia yakni dikeluarkannya Permenpen No. 01/per/Menpen/1998,
tentang Kententuan – Ketentuan SIUPP. Pada Permenpen ini, sanksi pencabutan
SIUPP maupun pembreidelan bagi pers ditiadakan. Ada lima peraturan, baik
berupa Peraturan Menteri maupun Surat Keputusan Menteri, yang keseluruhannya menghambat
ruang gerak pers, dicabut. Puncaknya adalah dikeluarkannya Undang- Undang No.
40 Tahun 1999 tentang Pers. Terdapat pasal di dalam undang-undang ini yang
menyatakan pencabutan semua undang- undang pers yang ada sebelumnya. Sejak saat
itu, tidak ada lagi kebijakan pemerintah yang memberatkan pers. Akibatnya,
permintaan untuk izin penerbitan meningkat.
Pers
masa reformasi selalu dihubungkan dengan demokrasi. Yang mana demokrasi berarti
kebebasan untuk berbicara dan mengeluarkan pendapat. Salah satu indikator
demokrasi adalah terciptanya jurnalisme yang independen. Walaupun pada
kenyataannya saat ini, terkadang pers masih dimanfaatkan oleh pemerintah untuk
melanggengkan kekuasaan. Pers masa reformasi bebas menuliskan apapun kritik
mereka terhadap pemerintah. Tidak ada pembungkaman, apalagi pembredelan. Jika
pemerintah tersinggung dengan apa yang disampaikan oleh pers, jalan untuk
melawannya bukan dengan memberedel pers, tetapi dengan memanfaatkan pers itu
sendiri sebagai alat komunikasi yang efektif antara masyarakat dan pemerintah.
Dengan kata lain, pers masa reformasi menempatkan dirinya sebagai perantara
rakyat dan pemerintah supaya tidak terjadi perbedaan persepsi.
Pers
masa reformasi sedikit banyak telah menemukan jati dirinya. Pers menjadi
lemabga yang independen. Pada masa reformasi, komunikasi politik yang terjadsi
antara masyarakat dan pemerintah tidak hanya komunikasi top – down, melainkan
juga bottom – up. Pers menjadi sarana masyarakat untuk menyalurkan aspirasinya,
baik berupa tuntutan maupun dukungan. Pers juga menjadi sarana pemerintah
mensosialisasikan kebijakan – kebijakan yang telah diambilnya. Pers menjadi
wadah pemerintah untuk mengetahui apakah kebijakan – kebijakan yang akan
diambil disetujui rakyat atau tidak. Apabila suatu kebijakan telah diambil dan
dilaksanakan, pers dapat mengambil perannya sebagai pengontrol kebijakan.
Intinya, pers masa reformasi senantiasa melaksanakan fungsinya pada setiap
proses sistem politik. Pada masa ini, 9 elemen dasar serta fungsi – fungsi pers
cukup terlaksana.
Namun,
kebebasan pers yang tercipta pada masa reformasi bukan berarti tidak
menimbulkan masalah apapun. Kebebasan pers masa reformasi terkadang terlewat
batas. Terdapat ketidakseimbangan antara keinginan masyarakat dengan
kepentingan pers. Pers cenderung menampilkan sesuatu yang berbau komersil dan
hanya memikirkan keuntungan perusahaan. Berita yang disajikan terkadang tidak
objektif. Tidak hanya itu, pers juga terkadang melanggar kode etik nya sendiri.
Norma dan nilai yang ada di masyarakat diabaikan. Dalam pencarian berita pun
pers sering meniadakan kesopan santunan. Pers tidak lagi menghargai privatisasi
sumber berita. Sebagai contoh, pers seharusnya fokus hanya pada masalah –
masalah yang berhubungan dengan kepentingan masyarakat, seperti kebijakan pemerintah,
akan tetapi pers menambahkannya dengan urusan pribadi sumber berita. Hal itu
sangat melanggar norma.
Kekhawatiran
masyarakat terhadap kebebasan pers, sempat muncul dalam aksi perlawanan dalam
bentuk kekerasan fisik. Hal ini antara lain ditandai dengan penyerangan harian
Jawa Pos di Surabaya oleh Banser pendukung Abdurrahman Wahid (alam Emilianus,
2005: 128).
Intinya,
pers menjadi lupa bahwa kebebasan pun masih harus ada batasnya. Di masa
reformasi pers lebih menampilkan diri sebagai pihak yang dekat dengan kekuasaan
dan modal. Dan hal ini harus diantisipasi oleh masyarakat sebagai pengawas atas
perilaku pers di Indonesia.
BAB
III
KESIMPULAN
Berdasarkan
pembahasan yang telah dijelaskan, dapat disimpulkan bahwa kebebasan pers pada
masa orde baru sangat berbeda dengan kebebasan pers pada masa reformasi. Pada
masa orde baru pergerakan pers sangat dibatasi dan hanya sebagai boneka
pemerintah untuk melanggengkan kepentingannya. Sedangakan pada masa reformasi,
kebebasan pers sangat terjamin. Ruang gerak pers menjadi sangat luas. Pers
dapat melakukan fungsi top – down dan bottom – up, walaupun terkadang masih
dimanfaatkan sebagai alat penguasa serta pemilik modal. Kebebasan pers masa
reformasi juga bukan berarti tanpa masalah, banyak masalah yang timbul akibat
dari kebebasan pers itu sendiri.
Sign up here with your email
ConversionConversion EmoticonEmoticon